Pada 13-14 Mei
2014, kita dikenangkan kembali oleh peristiwa kelam yang banyak menelan korban
jiwa dan harta benda yang terjadi 16 tahun silam yang kemudian dikenal dengan
Kerusuhan Mei 1998.
Yang tak kalah
menariknya, hingga hari ini nama Prabowo Subianto yang kala itu menjabat
Pangkostrad selalu diseret sebagai aktor yang berada di balik peristiwa
tersebut. Benarkah mantan Pangkostrad Letjen (Purn) TNI Prabowo Subianto yang
saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan mencalonkan diri
sebagai calon presiden Indonesia di Pilpres 2014 terlibat berada di balik
peristiwa Kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Satu setengah tahun
setelah terjadinya peristiwa Kerusuhan Mei 1998, berita kasus Kerusahan Mei 1998
ini kembali mencuat dengan beredarnya salinan surat Mensesneg RI bernomor
B597/M.Sesneg/09/1999 tanggal 13 September 1999, tentang jawaban Presiden RI,
B.J. Habiebie, yang ditujukan kepada Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman, bocor
ke media.
Disebut-sebut dalam
surat itu, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, Prabowo tidak mempunyai
cukup bukti yang memperkuat dugaan keterlibatannya dalan peristiwa Kerusuhan
Mei 1998 lalu (kalimat lengkapnya berbunyi; ...berdasarkan penyelidikan yang
kami lakukan ternyata tidak cukup bukti yang memperkuat dugaan tersebut).
Meski disebutkan
tidak mempunyai cukup bukti kuat atas dugaan keterlibatan Prabowo dalam
peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Pemerintah telah memberhentikan Letjen TNI Prabowo
dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad sekaligus anggota TNI AD.
Untuk menemukan aktor
intelektual atau siapa yang sejatinya bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan
Mei 1998, dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Hasil dari temuan TGPF
juga menyebutkan bahwa semua peristiwa tersebut berkaitan erat dengan Pemilu
1997, krisis ekonomi, SU MPR 1998, demonstrasi mahasiswa, penculikan aktivis,
tertembaknya mahasiswa Trisakti, hingga pertarungan memperebutkan kepemimpinan
nasional.
Begitu halnya ketika
merujuk hasil rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan
pemerintah, tidak menyebutkan fakta keterbuktian keterlibatan Prabowo atas
tragedi Kerusuhan Mei 1998, tapi semua temuannya itu lebih didasari pada
analisis. Terkait hal ini Prabowo menilai bahwa hasil temuan TGPF lebih
merupakan opini, ketimbang fakta.
Termasuk ketika TGPF
merekomendasikan menyelidiki pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei untuk
mengetahui dan mendalami peranan Letjen Prabowo dan pihak-pihak lain atas
peristiwa Kerusuhan Mei 13 – 14 Mei 1998. Dalam pertemuan di Makostrad itu
sendiri dihadiri sejumlah tokoh yang dikenal cukup vokal mengkritisi kebijakan
represif rezim Soeharto, seperti advokad terkenal Adnan Butung Nasution, WS
Rendra, Setiawan Djody dan Bambang Widjojanto.
Terkait dengan
pertemuan di Makostrad, Prabowo membaliknya dengan logika, bahwa kerusuhan itu
terjadi pada tanggal dari 13 dan 14 Mei. Sementara pertemuannya dengan sejumlah
tokoh masyarakat yang dikenal banyak mengkritisi kebijakan rezim Orde Baru ini
dilakukan pada 14 Mei. Jadi logika ini menurut Prabowo dari logika ini tidak
nyambung.
Sementara dalam
pertemuan atas inisiatif penyair WS Rendra ini mereka bermaksud ingin mencari
tahu kebenaran berita maupun munculnya opini yang menyeret nama Prabowo sebagai
aktor intelektual berada di balik peristiwa penembakan mahasiswa Trisaksi pada
12 Mei dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Begitu halnya ketika dicecar pertanyaan
oleh Adnan Buyung Nasution yang ikut dalam pertemuan di Makostrad, Prabowo
membantah terlibat dalam kerusuhan tersebut maupun penembakan mahasiswa
Trisakti.
Lagi-lagi di sini
Prabowo menjadi korban analisis yang dianggap dan dituding bertanggungjawab
atas peristiwa tersebut. Dalam tudingannya itu beragam stigmatisasi ditempelkan
dalam diri mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad ini sebagai sosok yang anti
China, anti Kristen.
Bahkan sampai muncul
dihembuskankan terjadi polarisasi dan rivalitas di tubuh kepemimpinan ABRI
antara tentara ‘hijau’ dan tentara ‘merah putih’. Di sini Prabowo hanyalah
tumbal dan tersandera jadi korban analisis dan korban pembentukan opini atas
peristiwa tersebut, ketimbang fakta.
Dan jelang Pilpres
2014, jangan heran bila kemudian nama mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad
ini kembali diungkit-ungkit dan dipolitisir atas peristiwa tersebut untuk
dijadikan komoditas politik kampanye hitam oleh lawan politiknya guna menjegal
melajunya Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra – Prabowo Subianto sebagai calon
Presiden Indonesia 2014.