Rabu, 28 Mei 2014

PRABOWO DAN KISAH KERUSUHAN 13-14 MEI 1998



 Pada 13-14 Mei 2014, kita dikenangkan kembali oleh peristiwa kelam yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda yang terjadi 16 tahun silam yang kemudian dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998.
Yang tak kalah menariknya, hingga hari ini nama Prabowo Subianto yang kala itu menjabat Pangkostrad selalu diseret sebagai aktor yang berada di balik peristiwa tersebut. Benarkah mantan Pangkostrad Letjen (Purn) TNI Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan mencalonkan diri sebagai calon presiden Indonesia di Pilpres 2014 terlibat berada di balik peristiwa Kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Satu setengah tahun setelah terjadinya peristiwa Kerusuhan Mei 1998, berita kasus Kerusahan Mei 1998 ini kembali mencuat dengan beredarnya salinan surat Mensesneg RI bernomor B597/M.Sesneg/09/1999 tanggal 13 September 1999, tentang jawaban Presiden RI, B.J. Habiebie, yang ditujukan kepada Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman, bocor ke media.
Disebut-sebut dalam surat itu, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, Prabowo tidak mempunyai cukup bukti yang memperkuat dugaan keterlibatannya dalan peristiwa Kerusuhan Mei 1998 lalu (kalimat lengkapnya berbunyi; ...berdasarkan penyelidikan yang kami lakukan ternyata tidak cukup bukti yang memperkuat dugaan tersebut).
Meski disebutkan tidak mempunyai cukup bukti kuat atas dugaan keterlibatan Prabowo dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Pemerintah telah memberhentikan Letjen TNI Prabowo dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad sekaligus anggota TNI AD.
Untuk menemukan aktor intelektual atau siapa yang sejatinya bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan Mei 1998, dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Hasil dari temuan TGPF juga menyebutkan bahwa semua peristiwa tersebut berkaitan erat dengan Pemilu 1997, krisis ekonomi, SU MPR 1998, demonstrasi mahasiswa, penculikan aktivis, tertembaknya mahasiswa Trisakti, hingga pertarungan memperebutkan kepemimpinan nasional.
Begitu halnya ketika merujuk hasil rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan pemerintah, tidak menyebutkan fakta keterbuktian keterlibatan Prabowo atas tragedi Kerusuhan Mei 1998, tapi semua temuannya itu lebih didasari pada analisis. Terkait hal ini Prabowo menilai bahwa hasil temuan TGPF lebih merupakan opini, ketimbang fakta.
Termasuk ketika TGPF merekomendasikan menyelidiki pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei untuk mengetahui dan mendalami peranan Letjen Prabowo dan pihak-pihak lain atas peristiwa Kerusuhan Mei 13 – 14 Mei 1998. Dalam pertemuan di Makostrad itu sendiri dihadiri sejumlah tokoh yang dikenal cukup vokal mengkritisi kebijakan represif rezim Soeharto, seperti advokad terkenal Adnan Butung Nasution, WS Rendra, Setiawan Djody dan Bambang Widjojanto.
Terkait dengan pertemuan di Makostrad, Prabowo membaliknya dengan logika, bahwa kerusuhan itu terjadi pada tanggal dari 13 dan 14 Mei. Sementara pertemuannya dengan sejumlah tokoh masyarakat yang dikenal banyak mengkritisi kebijakan rezim Orde Baru ini dilakukan pada 14 Mei. Jadi logika ini menurut Prabowo dari logika ini tidak nyambung.
Sementara dalam pertemuan atas inisiatif penyair WS Rendra ini mereka bermaksud ingin mencari tahu kebenaran berita maupun munculnya opini yang menyeret nama Prabowo sebagai aktor intelektual berada di balik peristiwa penembakan mahasiswa Trisaksi pada 12 Mei dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Begitu halnya ketika dicecar pertanyaan oleh Adnan Buyung Nasution yang ikut dalam pertemuan di Makostrad, Prabowo membantah terlibat dalam kerusuhan tersebut maupun penembakan mahasiswa Trisakti.
Lagi-lagi di sini Prabowo menjadi korban analisis yang dianggap dan dituding bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Dalam tudingannya itu beragam stigmatisasi ditempelkan dalam diri mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad ini sebagai sosok yang anti China, anti Kristen.
Bahkan sampai muncul dihembuskankan terjadi polarisasi dan rivalitas di tubuh kepemimpinan ABRI antara tentara ‘hijau’ dan tentara ‘merah putih’. Di sini Prabowo hanyalah tumbal dan tersandera jadi korban analisis dan korban pembentukan opini atas peristiwa tersebut, ketimbang fakta.
Dan jelang Pilpres 2014, jangan heran bila kemudian nama mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad ini kembali diungkit-ungkit dan dipolitisir atas peristiwa tersebut untuk dijadikan komoditas politik kampanye hitam oleh lawan politiknya guna menjegal melajunya Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra – Prabowo Subianto sebagai calon Presiden Indonesia 2014.
Sumber : Tribunnews.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar