PENULIS : SELPIUS BOBI
Papua Barat terus membara. Papua Barat menjadi
arena konflik kepentingan dari berbagai pihak. Ini akibat dari Hak Asasi
Politik bangsa Papua Barat yang telah digadaikan secara sepihak oleh Belanda,
Amerika Serikat dan PBB ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Konflik antara pendukung Merah Putih dan
pendukung Bintang Fajar, atau lebih tepat disebut konflik antara Ideologi
Pancasila dan Ideologi Mabruk semakin meningkat tajam. Konflik ini diciptakan
oleh Belanda, Amerika, Indonesia dan PBB. Akar konflik di Papua Barat adalah
aneksasi kemerdekaan bangsa Papua Barat ke dalam NKRI pada tahun 1960 -an.
Ingatan penderitaan (Memoria Passionis) membekas
dalam setiap jiwa orang asli Papua yang mengalami korban kekerasan dari
Republik Indonesia (RI). Konflik itu kemarin ada, hari ini masih terjadi dan
konflik itu terus akan terjadi selama bangsa Papua berada dalam NKRI. Konflik
ini semakin menambah ingatan penderitaan bagi orang asli Papua.
Konflik pertarungan antara ideologi Pancasila
dan Ideologi Mabruk semakin membara di setiap lembah, di setiap gunung, di
setiap pesisir pantai, di setiap lorong jalan, dan konflik itu terus membara
menghanguskan jiwa-jiwa umat manusia yang tidak berdosa. Tanah Papua Barat
sebagai paru paru dunia, yang menyimpan cadangan oksigen bagi dunia pun semakin
dihancurkan oleh banyak perusahaan kayu dan tambang, yang diberi ijin oleh
RI.
Akar konflik itu melahirkan dua masalah
berikutnya, yaitu masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau Kejahatan
Negara terhadap orang asli Papua, yang mengakibatkan pemusnahan etnis Papua.
Dan masalah ketidakadilan dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengakibatkan
diskriminasi, marginalisasi, dan minoritasi orang asli Papua di atas tanah
leluhur nya.
Itulah wajah Papua Barat kemarin, wajah Papua
Barat hari ini dan wajah Papua Barat hari besok selama bangsa Papua berada
dalam cengkeraman NKRI. Memang keadaan inilah yang diinginkan Negara Indonesia
sejak bangsa Papua Barat dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak pada tahun
1960 - an.
Berbagai konflik kepentingan ini mengingatkan
orang asli Papua pada sebuah pernyataan Jenderal Ali Murtopo saat ditugaskan
oleh Presiden RI (Soekarno) untuk merebut bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Ali
Murtopo mengatakan: "Kami hanya mencintai tanah air dan kekayaan alam
Papua, bukan mencintai orang Papua. Jika ada orang Papua yang mau merdeka, kami
akan beritahu Amerika Serikat untuk pindahkan kamu ke bulan."
RI hanya jatuh cinta dengan tanah air Papua yang
subur dan indah, serta kekayaan alam Papua. Tetapi RI tidak jatuh cinta kepada
para pemilik negeri yang mendiami di tanah Papua Barat. Karena itu sambil
menguasai tanah air dan merampas kekayaan alam Papua, para pemilik negeri nya
dibunuh oleh RI secara langsung dan tidak langsung. RI membenci, meneror,
memperkosa, menyiksa, menghina, dan membantai orang asli Papua. Itulah yang
terjadi kemarin, itu masih terjadi hari ini, dan akan terjadi pula pada hari
besok selama bangsa Papua Barat masih berada dalam NKRI.
Untuk keluar dari segala bentuk tirani
penjajahan RI dan para sekutunya, kemarin orang Papua sudah berjuang, hari ini
masih berjuang dan besok pun akan terus berjuang untuk Papua merdeka penuh. Dalam perjalanan
perjuangan bangsa Papua Barat telah memakan korban, sedang memakan korban dan
akan pula memakan korban. Kemarin orang asli Papua sudah mengorbankan materi,
waktu, tenaga yang tidak sedikit, bahkan banyak nyawa manusia Papua Barat
korban di ujung moncong senjata aparat RI.
Hari ini orang asli Papua masih korbankan waktu,
tenaga, pikiran, perasaan dan materi, bahkan ada pula jiwa manusia yang jatuh
bersimpah darah kena tima panas dari aparat Indonesia. Hari besok pun orang
asli Papua akan terus korbankan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, materi, dan
bahkan pula jiwa umat manusia yang tidak berdosa akan gugur pula.
Bangsa Papua Barat sudah berjalan menempuh
perjuangan selama lebih dari 50 tahun, tetapi belum tiba kepada tujuan akhir
yaitu kebebasan total (berdaulat penuh). Selama 50 tahun bangsa Papua Barat
telah bersuara, tetapi suara bangsa Papua jatuh ke padang sunyi, tanpa reaksi
dan tanpa aksi nyata.
Walaupun ada reaksi dari sesama yang peduli atas
suara bangsa Papua Barat, tetapi itu belum cukup menurunkan frekuensi konflik
di tanah Papua; walaupun ada aksi nyata dari sesama yang berhati mulia untuk
menolong bangsa Papua, tetapi itu belum cukup meredahkan konflik ideologi
politik antara RI dan bangsa Papua Barat. Walaupun ada reaksi dari mereka yang
peduli bangsa Papua, tetapi kebanyakan dari mereka hanya bicara untuk
memperbaiki sistem RI dan pelayanan publik.
Walaupun ada reaksi dari mereka yang peduli,
tetapi itu hanya bicara untuk memperbaiki kesejahteraan yang semu. Sampai saat
ini belum ada langkah langkah nyata dari bangsa bangsa merdeka di dunia dan PBB
untuk memutuskan mata rantai penjajahan RI dan para sekutunya. Singkatnya,
orang asli Papua selama ini minta Papua Barat diakui secara de jure sebagai
negara berdaulat, tetapi dijawab dengan hal hal lain yang tidak dituntut oleh
bangsa Papua Barat (alias diminta lain, dijawab dengan lain. Sungguh ini ironis
memang! Tetapi itulah yang bangsa Papua sudah alami, masih alami dan akan
dialami pula selama bangsa Papua berada dalam penjajahan NKRI.
Merasa tak ada jalan bagi bangsa Papua Barat
untuk keluar dari lingkaran konflik ini. Tetapi bangsa Papua Barat punya
keyakinan kuat bahwa pasti ada jalan untuk keluar dari kemelut penjajahan yang
membelenggu setiap jiwa orang Papua. Pasti ada solusi bermartabat untuk mewujudkan
kesejahteraan lahir dan bathin dalam kedaulatan Negara Bangsa Papua
Barat.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di Amerika Serikat dibentuk untuk melindungi dan menghormati setiap umat manusia di dunia. Organisasi ini bertugas untuk menegakkan hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, demokrasi dan memelihara perdamaian dunia. Tetapi justru PBB inilah yang telah mengorbankan bangsa Papua pada tahun 1960-an dan sedang mengorbankan, dan akan terus mengorbankan bangsa Papua, selama belum ada langkah nyata dari PBB untuk memutuskan mata rantai penjajahan dari RI dan para sekutu nya.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di Amerika Serikat dibentuk untuk melindungi dan menghormati setiap umat manusia di dunia. Organisasi ini bertugas untuk menegakkan hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, demokrasi dan memelihara perdamaian dunia. Tetapi justru PBB inilah yang telah mengorbankan bangsa Papua pada tahun 1960-an dan sedang mengorbankan, dan akan terus mengorbankan bangsa Papua, selama belum ada langkah nyata dari PBB untuk memutuskan mata rantai penjajahan dari RI dan para sekutu nya.
Kami menilai bahwa PBB belum secara
maksimal menegakkan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam kasus Papua Barat. PBB
telah bertindak menjadi jembatan untuk mewujudkan kepentingan politik dan
ekonomi dari Indonesia dan Amerika Serikat dengan adanya aneksasi bangsa Papua
ke dalam NKRI pada tahun 1960-an.
PT Freeport di Timika menjadi bukti otentik
adanya percaturan konspirasi kepentingan Amerika dan RI itu. PBB menggadaikan
Papua Barat kepada Indonesia karena kepentingan ekonomi, keamanan dan politik
semata. Dari fakta ini, kami bertanya: "mungkinkah organisasi PBB dibentuk
untuk menjadi jembatan bagi negara negara kolonial, untuk menguasai tanah air
dan merampas kekayaan alam, serta membasmi masyarakat pribumi dengan sewenang
wenang?"
Setelah Bangsa Papua Barat digadaikan kepada
Negara Indonesia, PBB membiarkan dan mendukung Negara Indonesia untuk terus
menjajah rakyat pribumi Papua Barat. Selama ini PBB tidak memberikan sanksi
tegas dan keras kepada Negara Indonesia atas Pelanggaran HAM dan Kejahatan
Negara terhadap orang Papua.
Badan badan PBB selama ini hanyalah memberikan
rekomendasi kepada RI untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Itu pun jika ada
banyak pihak yang menyoroti kasus kasus yang terjadi di Indonesia, termasuk
kasus kasus di tanah Papua. Ternyata RI tidak dengan sungguh sungguh
melaksanakan rekomendasi-rekomendasi dari badan badan PBB itu.
Negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB
telah gagal melaksanakan prinsip-prinsip umum dan luhur yang terkandung dalam
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan kovenan hukum
Internasional lainnya, bahkan juga RI telah gagal melaksanakan Konstitusi UUD
1945.
Kegagalan RI dalam melindungi dan menghormati
martabat Manusia Papua adalah juga merupakan kegagalan PBB dalam membina Negara
Indonesia sebagai salah satu anggota resmi PBB.
Kami menilai bahwa PBB belum sepenuhnya
mewujudkan tanggung jawab moral dan telah gagal melindungi dan menghormati martabat
manusia di Papua Barat. Karena selama ini PBB membiarkan dan mendukung RI
sebagai salah anggota PBB terus menjajah rakyat pribumi Papua.
Kalau organisasi PBB adalah melindungi dan
memperjuangkan penegakkan HAM, maka tentunya Bangsa Papua tidak menjadi korban
Hak Asasi Manusia yang diusung oleh PBB. Jikalau PBB memperjuangkan keadilan,
maka tentunya Bangsa Papua tidak menjadi korban Keadilan dan PBB pasti
melaksanakan tugasnya dengan baik pada waktu Belanda dan Indonesia bertarung
untuk merebut Papua Barat.
Jika PBB menegakkan Demokrasi, maka tentunya
Bangsa Papua tidak menjadi korban Demokrasi yang telah dimanipulasi pada saat
Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969, yang cacat hukum dan moral
itu.
Jika demikian, Badan PBB ini dibentuk untuk apa
dan untuk siapa? Kalau organisasi PBB memiliki kepedulian terhadap darurat
kemanusiaan secara terselubung yang mengerikan yang terjadi di Papua Barat,
maka PBB tentunya sudah mulai mengambil langkah-langkah nyata untuk intervensi
kemanusiaan di Tanah Papua.
Ataukah PBB sedang menunggu dan akan intervensi
kemanusiaan setelah sebagian besar orang asli Papua musnah dari negeri leluhur
nya? Darurat kemanusiaan model apa yang sedang ditunggu oleh PBB untuk
intervensi? Perlu kami sampaikan bahwa setiap saat orang Papua mati karena
banyak sebab.
Ada yang mati karena diracuni, mati karena
ditabrak, mati karena mengkonsumsi minuman keras yang kadar alkoholnya tinggi
yang tidak layak dijual di toko toko, mati karena HIV/AIDS, mati karena
pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan setengah hati, mati karena gisi
buruk, mati karena disiksa, mati karena trouma, mati karena kemiskinan
struktural, mati karena ditembak, diculik dan dibunuh, dan lain lain.
RI tidak memberikan akses bagi jurnalis asing,
pekerja HAM asing, atau lembaga non pemerintahan asing untuk kunjungi ke tanah
Papua Barat, seperti RI tidak memberi ijin kepada Pelapor Khusus PBB bidang
kebebasan ekspresi (Frank LaRue) pada awal tahun 2013 adalah bukti bahwa di
tanah Papua tertutup bagi pihak asing, karena memang di tanah Papua sedang
terjadi darurat kemanusiaan secara terselubung, tetapi sangat mengerikan. Dan
itu sedang mengancam eksistensi hidup orang asli Papua di atas tanah
leluhurnya.
Negara Indonesia menempuh empat pendekatan untuk
menghancurkan bangsa Papua Barat, yaitu pendekatan keamanan, hukum, sosial
budaya dan kesejahteraan semu yang penuh diskriminatif (bias pendatang). Di
tanah Papua, ruang demokrasi benar benar ditutup dengan berbagai aturan yang
akal akalan dan tidak etis.
Banyak aktifis HAM Papua
ditangkap dan di penjara. Tidak diberi akses bagi orang asli Papua untuk
berdemonstrasi atau buat mimbar bebas dengan damai. Bahkan aparat Indonesia
melarang dan membubarkan ibadat syukuran di lapangan terbuka yang mau
memperingati peristiwa peristiwa bersejarah bangsa Papua Barat, seperti terjadi
pada tanggal 01 Desember 2012 di Lapangan Makam almarhum Theys H Eluay. Operasi
militer terbuka (misalnya di Puncak Jaya, juga Paniai sedang digelar) dan
operasi militer tertutup sudah diberlakukan di tanah Papua.
Untuk membendung tekanan
masyarakat internasional atas semua bentuk kejahatan Negara Indonesia terhadap
Orang asli Papua dan untuk membendung aspirasi politik Papua Merdeka, maka pada
tahun 2001 Negara Indonesia secara sepihak memaksakan menerapkan Undang Undang
(UU) Otonomi Khusus Papua, walaupun orang asli Papua menolak tegas Otonomi
Khusus itu.
Dalam implementasi UU Otonomi Khusus itu
selama 12 tahun terbukti bahwa sudah gagal total melindungi dan menghormati
serta menegakkan hak hak dasar orang asli Papua, termasuk hak hidup dan tidak
menjawab hak politik bangsa Papua untuk merdeka penuh. Kegagalan Otsus Papua
ditemukan juga dalam evaluasi implementasi UU Otsus Papua, yang digelar antara
tanggal 25 - 27 Juli 2013 di Hotel Sahid Entrop - Jayapura. MRP propinsi Papua
dan MRP propinsi Papua Barat memfasilitasi sekitar 300 orang asli Papua untuk ikut
evaluasi itu. Dalam evaluasi itu menyatakan bahwa UU Otonomi Khusus Papua telah
gagal, dan merekomendasikan pemerintah Indonesia dan Papua mengadakan dialog,
yang difasilitasi oleh pihak netral dan dilaksanakan tempat netral.
UU Otonomi Khusus itu, pada saat ini RI secara
sepihak sedang merubah ke dalam UU Otonomi Khusus Plus atau UU Pemerintahan
Papua untuk membendung aspirasi politik Papua Merdeka yang sedang menggema di
penjuru dunia dan untuk memperpanjang penjajahan RI di tanah Papua Barat.
Orang asli Papua sudah menolak tegas semua
kebijakan paket politik dari RI, termasuk UU Otonomi Khusus Plus atau UU
Pemerintahan Papua itu dan bangsa Papua Barat telah meminta Merdeka Penuh.
Karena UU Otonomi Khusus Plus atau UU Pemerintahan Papua yang dipaksakan secara
sepihak itu, justru paket politik itu akan membawa kehancuran dan malapeta bagi
eksistensi dan keberlangsungan hidup orang asli Papua di tanah leluhur nya.
Masalah utama Papua Barat bukan soal kesejahteraan atau makan minum, tetapi masalah hak kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah dirampas dan dianeksasi ke dalam NKRI pada tahun 1960 - an. Bangsa Papua Barat menolak dan akan tetap menolak terhadap semua kebijakan paket politik dari RI yang mau diterapkan di tanah Papua Barat. Bangsa Papua Barat akan berjuang sampai RI dan negara negara di dunia serta PBB mengakui kemerdekaan bangsa Papua Barat.
Masalah utama Papua Barat bukan soal kesejahteraan atau makan minum, tetapi masalah hak kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah dirampas dan dianeksasi ke dalam NKRI pada tahun 1960 - an. Bangsa Papua Barat menolak dan akan tetap menolak terhadap semua kebijakan paket politik dari RI yang mau diterapkan di tanah Papua Barat. Bangsa Papua Barat akan berjuang sampai RI dan negara negara di dunia serta PBB mengakui kemerdekaan bangsa Papua Barat.
Dilihat dari kasat mata, di tanah Papua itu
tenang-tenang, tetapi arus bawah operasi militer secara terselubung sangat kuat
dan kencang (tenang-tenang menghanyutkan). Tidak ada ruang gerak bagi aktifis
HAM karena setiap saat di pantau oleh mata mata Indonesia, BIN, Polri, TNI,
bahkan keluarga dekat tertentu dari para aktifis HAM pun menjadi mata-mata
Indonesia, hanya demi memperoleh uang atau barang. Sungguh ini mengerikan dan
menyedihkan!
Semua bentuk pendekatan yang diterapkan di Tanah
Papua oleh RI, baik pendekatan keamanan, hukum, sosial budaya dan kesejahteraan
yang semu (penuh diskriminatif) adalah merupakan tindakan RI yang sistematik,
terencana dan terukur yang diterapkan oleh RI melalui aparat Indonesia, yang
para aktornya adalah TNI dan Polri, serta BIN, BAIS, BAKIN dan kelompok pro RI.
Darurat kemanusiaan terselubung sedang terjadi
di tanah Papua Barat. Itu akibat dari akar masalah utama yaitu aneksasi
kemerdekaan bangsa Papua ke dalam NKRI pada tahun 1960-an. Akar masalah politik
yang telah melahirkan darurat kemanusia ini harus segera ditangani dan
diseleselaikan oleh semua pihak, khususnya oleh PBB dan negara negara di dunia.
Orang Papua dibunuh atas nama menjaga kedaulatan NKRI. Dan tindakan membunuh orang Papua dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI, menurut hukum praktis di Indonesia dapat dilegalkan. Ini sangat tidak bisa diterima, baik secara moral dan hukum Internasional.
Orang Papua dibunuh atas nama menjaga kedaulatan NKRI. Dan tindakan membunuh orang Papua dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI, menurut hukum praktis di Indonesia dapat dilegalkan. Ini sangat tidak bisa diterima, baik secara moral dan hukum Internasional.
Penjajahan oleh Negara Indonesia di tanah Papua
adalah penjajahan sistematik dan terencana serta terukur. PBB sebagai
organisasi internasional yang memiliki legitimasi dan pengaruh kuat untuk
mengambil langkah langkah nyata selamatkan bangsa Papua Barat.
Jika darurat kemanusiaan terselubung yang amat
mengerikan di tanah Papua ini dibiarkan oleh PBB dan negara-negara di dunia
sebagai pelaksana dan penanggung jawab dalam melindungi dan menghormati HAM,
maka diprediksi orang Papua akan musnah dalam kurung waktu 20 - 30 tahun ke
depan.
Data-data pendukung
bahwa di Tanah Papua sedang terjadi darurat kemanusiaan terselubung, silahkan
Anda kunjungi web dan baca tiga artikel di bawah ini:
1. "Etnis Bangsa Papua Sedang Musnah",
dalam versi bahasa Inggris di web: www.scoop.co.nz/stories/HL1303/S00152/annihilation-of-indigenouswest-papuans-challenge and-hope.htm ; dalam versi bahasa Indonesia Anda silahkan kunjungi dan baca diweb:www.justiceinpapua.blogspot.com/2013/03/etnis-bangsa-papusedang musnah_9469.html?m=1&zx=ddd8043663e3855a ;
2. "Bangsa Papua Korban Konspirasi
Kepentingan", silahkan kunjungi dan baca di web:
papuapost.com/2013/07/8095/# ; dalam versi bahasa Inggris kunjungi dan baca di
web: www.scoop.co.nz/stories/HL1307/S00084/papua-victim-of-a-conspiracy-of-interests.htm;
3. "PBB sebagai pelindung atau penyalahgunaan
HAM", dalam versi bahasa Indonesia silahkan Anda kunjungi dan baca di web:
www.tigidoovoice.blogspot.com/2013/03/pbb-sebagai-pelindung-atau_7.html?m=1;
dalam versi bahasa Inggris silahkan Anda kunjungi dan baca di web: www.dissidentvoice.org/2013/03/un-as-protector-or-abuser-of-human-rights/.
Darurat kemanusiaan terselubung yang sistematik,
terencana dan terukur yang melanda Papua Barat ini harus diakhiri segera oleh
semua pihak yang berhati mulia, untuk melindungi dan menegakkan martabat
manusia Papua di atas segala kepentingan Untuk itu, melalui artikel ini, pada
menjelang 50 tahun New Agreement yang kelabu (15 Agustus 1962 -15 Agustus
2013), saya dari balik Penjara menyampaikan tujuh point di bawah ini:
Pertama, PBB memiliki tanggung jawab moral dan
legal untuk menuntaskan akar masalah Politik Bangsa Papua dan masalah masalah
lain di tanah Papua Barat, yang menyebabkan marginalisasi, diskriminasi,
minoritasi orang asli Papua dan darurat kemanusian terselubung yang sistematis,
terencana dan terukur yang berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara
perlahan lahan, tetapi pasti (slow moving genocide).
Kedua, Untuk itu, PBB membentuk sebuah Tim Ad
Hoc untuk mengunjungi Papua Barat dalam rangka mengumpulkan bukti bukti darurat
kemanusiaan terselubung dan dampak lainnya.
Ketiga, PBB membentuk Tim Intervensi kemanusiaan
untuk Papua Barat.
Keempat, PBB memfasilitasi perundingan antara
bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat yang setara dan tanpa syarat untuk
mencari solusi yang bermartabat.
Kelima, Negara-Negara Regional (MSG), Kawasan
Afrika, Caribia dan Pasifik (ACP) bersatu untuk membawa masalah
Papua Barat ke dalam mekanisme resmi PBB.
Keenam, Negara negara di dunia dan PBB segera
mengakui secara de jure kemerdekaan kedaulatan negara dan bangsa Papua.
Selanjutnya PBB mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari
Negara Indonesia kepada Negara Papua Barat dalam waktu dekat ini.
Ketujuh, Jika pengakuan kemerdekaan bangsa Papua
Barat secara de jure ini di rasa berat dan sulit diwujudkan oleh negara
negara di dunia dan PBB, maka PBB membentuk sebuah Badan Ad Hoc untuk
memfasilitasi refendum ulang bagi orang asli Papua, karena Penentuan Pendapat
Rakyat Papua Barat yang dilaksanakan pada tahun 1969 itu cacat hukum dan moral.
Harapan kami bahwa tujuh point di atas dapat
diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk menegakkan
nilai nilai luhur seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, Hak Asasi Manusia,
Demokrasi dan kedamaian. Dalam rangka selamatkan etnis Papua dari marginilasi,
diskriminasi, minoritasi, dan pemusnahan etnis yang bergerak secara perlahan
lahan tetapi pasti.
Atas perhatian, dan bantun serta dukungan secara
langsung maupun tidak lansung dari Anda semua yang peduli kami dan berhati
mulia, kami ucapkan banyak terimakasih.
"Keselamatan bagi jiwa-jiwa umat manusia
yang dibelenggu tirani-tirani penindasan adalah Hukum Tertinggi".
Selpius Bobii adalah Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, juga sebagai Tawanan Politik Papua Barat di Penjara Abepura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar